Blue Giant Review: Jazz adalah Pertarungan
Musik dalam medium manga bagi saya pribadi mungkin masih bisa dihitung dengan jari. Meledaknya BECK karya Harold Sakuishi di awal 2000an sayangnya belum membuat saya tertarik membacanya dan menikmati manga bertema musik di masa itu. Bagi saya, manga haruslah berisi aksi pertarungan, jurus pamungkas dan juga semangat pantang menyerah. Maklum ketika BECK sedang rilis di Indonesia, usia saya mungkin masih belum terlalu mengerti musik. Ketertarikan saya pada musik baru mulai benar-benar tumbuh di tahun 2011. Namun, tetap masih tidak terbayangkan manga dan musik berada dalam medium yang sama.
Sampai akhirnya, di akhir tahun 2020 saya melihat twit dari mas Jaka Ady yang kurang lebih memberitahukan bahwa ada promo diskon di Gramedia. Lebih lanjut, dia merekomendasikan Blue Giant. Sebuah manga, tentang musik. Berbeda dengan BECK yang mengambil genre musik rock, Blue Giant memilih genre musik yang cukup niche dan menurut saya menantang yaitu Jazz. Tentu, saya tidak ingin melewatkan untuk bisa membaca (dan memilikinya hehe). Sambil melihat alokasi dana bulanan, saya mencoba mencari informasi sedikit tentang manga yang dibuat oleh Shinichi Ishizuka ini. Blue Giant menceritakan perjalanan Dai Miyamoto, seorang murid SMA dari Sendai yang mulai mencintai jazz setelah diajak kawannya melihat perform di sebuah cafe jazz dan memutuskan untuk memulai bermain jazz dengan instrumen tenor saxophone.
Saya pribadi tertarik dengan gambarnya yang sangat memanjakan. Bagian dimana Dai bermain di pinggir sungai Sendai dari pagi, siang ataupun malam selalu memikat. Anda akan banyak menemukan Dai bermain saxophone sendirian dengan lanskap perairan seperti sungai ataupun teluk. Sebuah pilihan yang manis buat saya pribadi.
Secara plot sendiri, manga ini membaginya dalam dua part yaitu ketika di Sendai saat masih duduk di bangku SMA dan ketika Dai memutuskan untuk hijrah ke Tokyo. Meskipun dari beberapa review yang saya baca, part awal terasa cukup lambat tapi saya menikmati dinamika Dai dan perkembangannya dari waktu ke waktu. Dai sendiri bagi saya adalah seorang petarung, sama seperti tokoh utama di manga-manga besar yang populer. Yang membedakan, medan dan cara bertempurnya saja. Semangat Dai yang tak mau berhenti berkembang pun tetap tercermin bahkan sampai di akhir buku ke-sepuluh yang akhirnya berlanjut di arc baru dengan judul Blue Giant Supreme.
Tak hanya Dai, saya merasa bahwa semua karakter memilki perkembangannya masing-masing. Saya menikmati bagaimana Yukinori yang terlihat begitu jenius di mata Dai tetaplah manusia. Selain itu, munculnya Tamada menjadi underdog di buku 6 dan 7 juga memberikan energi pertempuran tersendiri dalam dinamika jazz di Blue Giant.
Nuansa pertempuran masih terus tercerminkan terutama di part Tokyo. Jazz sebagai musik yang niche dan bisa dibilang “sulit jadi kaya” menjadi sebuah gambaran pertempuran antara passion dan kehiduppan. Hal tersebut juga tercermin dari cerita sebuah band jazz yang mulai memudar, pekerja kantoran yang mesti menjual instrumen terompetnya ke toko musik dan juga tercermin dari Dai dan Yukinori yang harus menjalani pekerjaan kasar untuk setidaknya bertahan sebelum (entah) jazz akan membuat mereka bisa mapan atau tidak. Pertarungan antara realitas dan mimpi sendiri menjadi dinamika yang kontras pun menjadi penegasan bagi saya bahwa Blue Giant bisa begitu dekat dengan sekitar saya.
Secara art sendiri seperti yang saya sempat singgung di awal, Blue Giant memberikan kenikmatan tersendiri yang bisa dibilang jarang saya temukan di manga genre adventure atau action. Saya menikmati bagaimana warna hitam banyak bermain mengisi panel dan juga background. Hal tersebut juga memberikan kesan yang untuk saya pribadi megah dan juga dalam seperti apa yang saya rasakan ketika mendengar kata jazz.
Selain itu, banyak sekali cara penggambaran jazz (bahkan mungkin penggambaran musik) yang saya sangat nikmati dan apresiasi. Penggunaan efek garis yang membantu membaca gerak juga saya interpretasikan sebagai penekanan mood dan energi yang ingin Ishizuka sampaikan di tiap permainan jazz dalam manga ini. Lalu, Blue Giant juga termasuk manga yang menurut saya cukup minim dialog. Bahkan, ada beberapa chapter yang disajikan tanpa dialog. Kita sebagai pembaca diberikan kenikmatan panel per panel yang bertutur melalui detail dan interaksi yang tergambar. Saya pribadi tidak bisa menahan untuk menunggu membaca manga ini sampai tamat dalam waktu dua hari (saat membaca Blue Giant, saya sedang membaca ulang One Piece dari volume awal). Tiap bab-nya seakan terus meminta pembacanya untuk segera menyelesaikan cerita ini. Cukup magis.
Tak bisa dipungkiri Blue Giant membuat saya tertarik mendengarkan jazz. Referensi yang diberikan di dalam manga ini pun sangat menyenangkan untuk ditelusuri. Nama-nama besar seperti Coltrane, Hancock dan musisi jazz yang memang besar dan menjadi legenda di era keemasan jazz akan dengan mudah ditemukan, baik dalam bentuk perform ataupun tumbukan CD di sudut kamar Dai. Menariknya, kurasi musik Blue Giant nyatanya ter-notice oleh Blue Note Records, sebuah label jazz dari AS dan beberapa tahun lalu mereka berkolaborasi membuat kompilasi jazz dari lagu yang muncul di manga ini.
Pada akhirnya, Blue Giant bagi saya adalah salah satu manga bertema musik yang tidak boleh dilewatkan oleh siapapun. Ada energi dan pesan yang saya rasa berhasil disampaikan oleh Ishizuka-sensei melalui sepak terjang Dai menggeluti jazz. Akan selalu ada rasa penasaran bagaimana Dai akan menaklukan satu panggung ke panggung lainnya, seperti melihat petarung mengikuti sebuah turnamen yang membuat kita merasa was-was dan penasaran. Tak menutup kemungkinan juga mungkin ada individu yang ingin menjadi jazz player setelah membaca Blue Giant.
Pertanyaan selanjutnya, apakah akan ada anime Blue Giant? Saya pribadi agak skeptis karena karakter suara yang diciptakan Dai terbilang unik dan akan menjadi tantangan sendiri mereplikasinya. Mungkin, saya akan menggunakan imajinasi saya saja untuk menikmatinya. Dan kini, saatnya saya bersabar untuk menunggu lanjutan kisah Blue Giant dirilis resmi di Indonesia. Mungkin sambil sesekali memutarkan Moment’s Notice dan membayangkan melihat penampilan Dai memainkan tenor saxophonenya di tepi Sungai Sendai.